Sebuah kecelakaan tragis merampas impian Olimpiade ayah Xander Schauffele

Sebuah kecelakaan tragis merampas impian Olimpiade ayah Xander Schauffele. Kini, anak emas golf kembali memberikan penghormatan kepadanya
Enam puluh tiga hari. Hanya itu yang di perlukan agar kehidupan dan warisan Xander Schauffele berubah selamanya. Namun asal muasal musim panas emas pegolf ini di mulai hampir empat dekade – tujuh tahun sebelum ia di lahirkan – hingga ke salah satu jalan yang menentukan di Jerman.

Sudah lama di cap sebagai ‘pegolf paling berbakat yang belum pernah memenangkan gelar mayor’, atlet Amerika ini menghancurkan label tersebut dengan sepenuh hati, meraih gelar PGA Championship dan The Open Championship dalam rentang waktu dua bulan yang menakjubkan.

Sebelumnya, hadiah paling bergengsi bagi pemain berusia 30 tahun itu adalah medali emas Olimpiade, yang di raih di Jepang pada tahun 2021. Pada hari Kamis, ia akan melakukan tee-off di Paris sebagai juara bertahan, tetapi juga sebagai seorang putra.
Pasalnya ayahnya, Stefan Schauffele, tidak pernah mendapat kesempatan di The Games. Impiannya untuk mewakili Jerman di dasalomba hancur pada tahun 1986 ketika, dalam perjalanan menuju fasilitas pelatihan nasional di Stuttgart, pemain berusia 23 tahun itu di tabrak oleh seorang pengemudi mabuk.

“Pukul dia secara langsung,” kata Schauffele, pemain peringkat 2 dunia, kepada Don Riddell dari CNN Sport.

Sebuah kecelakaan tragis merampas impian Olimpiade ayah Xander Schauffele

“Mata kirinya menjadi buta total. Dia keluar masuk rumah sakit selama dua tahun.”
Ketika check-in tersebut akhirnya di hentikan. Seoul 1988 telah datang dan pergi, dan dengan itu – mengingat parahnya cederanya – harapan untuk tampil di Olimpiade pun hilang.

Namun takdir mempunyai cara yang aneh untuk mewujudkan dirinya. Dokter rumah sakit memperkenalkan Schauffele pada golf, olahraga yang kemudian ia wariskan kepada putranya setelah pindah ke San Diego, California. Bakatnya dengan cepat menjadi jelas dan senior. Schauffele setinggi 6 kaki 3 inci – yang di juluki ‘The Ogre’ – segera bekerja sebagai pelatih ayunan anaknya sendiri.

Sisanya, seperti kata mereka, adalah sejarah. Sekitar 38 tahun setelah impian Olimpiadenya sirna, Stefan Schauffele tertidur dengan medali emas di tempat tidurnya di sampingnya.

“Semua kebijaksanaannya… itu berasal dari pelatihannya ketika dia ingin menjadi seorang atlet Olimpiade,” jelas Schauffele.

“Segala sesuatu yang dia lalui dalam hidupnya, trauma yang dia alami… Ayah saya tidak ingin saya merasakan trauma itu tetapi membuat saya menyadari seperti apa sisi lain itu sebisa mungkin, supaya saya lebih menghargai apa yang saya miliki dan apa yang mampu saya lakukan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *